Rabu, 02 Oktober 2013

Semakin

Semakin akrab dengan jarak, semakin asing dengan peluk.

Peluk ku tak sehangat selimutmu, tapi lebih lebar dari ranjangmu.

Ranjangmu panggung sandiwara, tempat senduwara mencapai muara.

Muara bibirku kering oleh bibirmu yang terik. Aku dahaga mengisi gelas dengan rinduku sendiri.

Sendiri aku menyambangi mimpimu, nekat benar aku seolah-olah sudah berada disana lebih dari setahun.

Setahun belum kita bersama. Tapi kau lupa, kita seTuhan sedari kecil.

Kecil mungil jejak kaki mu, menuntun aku ke tubuhmu yang riuh.

Riuh otakku -- Sedang ada pesta riahkan dirimu semalam suntuk.

Suntuk aku dengan gaduh bibir mencu. Suntik aku dengan bibir penuh gincu.

Gincu merah mu tak buat goyang semu merah jambu pipimu.

Pipimu landasan tempat mendarat mulusnya kecup pesawat tempurku.

Tempur!! egoku melawan egomu. Siapa pun yang menang, Kita yang kalah.

Kalah aku dalam dekap pelukmu, menyerah aku ditiban jutaan rindu.

Rindu yang tak terserap, kangen yang semakin kerap.

Kerap ku berperan sebagai angin kecil, semilir yang bergerilya menyusuri lembah rambutmu.

Rambutmu tempat penyair bermain sajak, tempat penyajak bercumbu syair.

Syair ku kaku, beku diterjang badai salju diammu.

Diammu baru emas jika diiringi gumamnya bibirku.

Bibirku melihat mu tajam, matamu tersenyum manis sekali.

Sekali kali aku ingin bertandang ke mimpimu. "Katamu disana sangat gaduh?" -- oleh suara kita yang mengaduh.

Mengaduh aku dalam rame, rame yang sepi semestinya.

Semestinya aku, semestanya kamu.

Kamu yang terjabarkan dalam lidah, yang terangkum dalam mata.

Mata kau tutup, saat itu harap ku titip.

Titip salam buat aku di mimpimu.

Tangerang, 2013
---------------------*--------------------
Catatan : Puisi yang saling bertautan tiap barisnya. Secarik puisi yang belum terlalu lama di tahun 2013, tahun dimana saya mulai galak menulis sajak. Masih meraba terlihat dari kata yang hiperbola. Namun, saya harap tuan puan dapat menikmati tanpa mengesampingkan rasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
;