Minggu, 23 Februari 2014 0 komentar

Soal Cinta, Sajakku Lebih Tahu

Cinta itu bukan penyair, kata indah tiap malam
memabukkanmu bagai sihir. Ia juga bukan
kicau burung, ucapan selamat pagi yang kau
terima saat hati sedang murung. Cinta itu bukan
kurir antar, entah barang kesenanganmu atau
bunga-bunga mekar. Dirinya bukan pula acara
berita televisi, kabar dunia yang harus kau
dapat setiap hari.
Tapi, Cinta itu lilin pendar cahaya, yang nekat
membakar dirinya meski tau akan dimakan
habis juga. Cinta itu penjaga perpustakaan, rela
tua perlahan menunggu buku-bukunya dikembalikan.
Ia itu sebatang pohon menjadi hutan, hutan kenangan
yang tak tak akan habis kau tebang. Cinta itu sejatinya
tukang gali sumur, yang nekat menggali di tanah gurun
meski tau berkah hujan tak akan turun.

Tangerang, 2014

Rabu, 19 Februari 2014 0 komentar

Sebanyak Aku yang Kau Sangsikan

aku lubang menganga di jalan raya, yang kau
hindari dengan pandang jijik saat akan pergi kerja
aku puisi cinta pesanan, sebagian aku kau
muntahkan dengan alasan tak mengenyangkan

aku kertas jurnal terlipat kumal, sesuatu yang
kau sobek saat datang sesal dan kesal
aku cucian kotor bau, apa yang kau
keluhkan ketika menempel di tubuh yang tak mau

aku putar lamban kipas angin, hembusan lirih
yang tak mampu hadirkan sejuk yang kau ingin
aku laporan keuangan negara asing, deretan angka
yang kau maki membuat kepala pusing

aku bubur ayam sarapan pagi, nasi lembek bayi yang kau
sangsikan karena lebih memilih roti
aku tisu basah terlanjur pasrah, pembersih wajahmu
atas cumbuan mesranya di beranda rumah

Tangerang, 2014

Selasa, 11 Februari 2014 0 komentar

A Knights Tale

"Love has given me wings so I must fly. Fly away."

Kamis, 06 Februari 2014 0 komentar

Rumah

Kepada hujan,

jatuhlah perlahan. Aku tahu perjalananmu menyebalkan
harus terusir dari tempat nyaman disana, di negeri awan.
Kumohon jatuhlah perlahan, melunaklah pada genting ku
yang lapuk kebasahan.

Kepada genting,

kokohlah menahan. Buktikan pekerjaanmu yang telah menahun.
Ini hanya air, bukan batu yang sering mendarat, mengalun.
Meninggalkan bekas lubang, seperti fomasi lampu yang anggun.

Kepada lubang,

jadilah tempat masuk yang aman bagi hujan. Berikan kenyamanan,
walaupun ku tau tepianmu begitu tajam. Tak perlu jadi tujuan,
karena tugas besarpun bisa berupa sebuah jalan. Tuntunlah
air ini menuju kuali besar di bawah sana, kawan.

Kepada kuali,

maaf kau harus menggantikan tugas ember lagi. Aku tau kau
tak keberatan, tapi... jujur saja kau lebih baik dari dia.
Tetaplah menjadi nada ke-8 Orkestra pengantar tidur anak-anakku.
Berdamailah dengan lantai yang dingin, kaku.

Kepada lantai,

santailah. Jangan kaku dan jangan dingin seperti itu. Kumohon
jangan hanya karena hujan kau membeku. Kasihanilah anak-anakku,
menghangatlah buang niatmu menjadi anomali. Jadilah penghangat ruangan
yang tak mampu ku beli.

Tangerang, 2014
Selasa, 04 Februari 2014 0 komentar

Hari Ini, Hari Baru, Hari Rabu

Teruntuk kamu,

Hari ini hari rabu dear, harusnya ini surat ke-5 di bulan ini yang aku tulis untukmu. Namun hati, kepala dan jari sedang sok sibuk sendiri-sendiri. Tapi entah kenapa pagi ini mereka berdamai kembali, jadilah hari ini kutulis surat ini.

Kusempatkan menulis surat untukmu meski bukan hari minggu. Mungkin bila ini hari minggu, aku sudah berjalan-jalan naik delman, naik di muka Pak Kusir mirip lagu jaman kita kecil. Ahh fokusku terbuyarkan lagi. Sebentar ada yang ingin ku utarakan, tapi entah mengapa pikiranku mengarahkan ke selatan. Tapi sudahlah lebih baik kita mengobrol ringan dulu sambil menunggu hajat yang akan ku panjat, untukmu.

Apa kau baik saja dear? Sudah beberapa hari ini kau telan dalam-dalam sesuatu yang keras seperti batu sehingga tak ada lagi keluar suara merdu dari mulut mungilmu, yang ada kau membisu. Apa karena celotehku itu? celoteh anak kecil yang meminta tuhan membelikannya eskrim? polos tapi sepertinya membuat semua monster menakutkan di mulut ini lolos menuju hatimu..los, begitu saja. Tapi ini tak sesederhana itu kan? Aku tau, makanya kutulis surat ini sebagai tebus dari pedang kata yang keburu terhunus. Aku minta maaf, atau kali ini aku menyewanya saja? Atau harus aku beli? Kalau begitu aku harap aku diperbolehkan membayarnya dengan mata uang universal saja -- pelukan dan kecupan. Yaahhh.. dengan selipan coklat dan bunga mawar tentunya. kamu mau kan?.

Oh iya, tentang niat mengutarakan tadi.. Ngggg.. Anu.. Aku belum selesai membaca novel mu yang aku pinjam seminggu lalu. jadi mungkin akan jadi lebih telat dari tenggat. Tak apa yah? toh tak akan berkurang kata dalam novel ini karena aku telat membuka lembar demi lembar melembur.

Sebelum ku tutup surat ini yang sebenarnya tidak benar ku buka, karena yang membuka adalah kamu, aku mengingatkan mu lagi lagi : "Maafkan aku atas celotehku yang suka neloyor sendiri, seperti orang yang berjalan tidur sambil berdiri. Kuharap suatu hari nanti kamu dapat mencegahnya berbuat onar dengan sengatan bibirmu dipipi"

Aku yang sengaja menulis surat, membayar kifarat.
-dika

Tangerang, 2014

-----------------------------------------------*--------------------------------------------------
Terimakasih sudah membaca  surat dariku. Tak kusangka petugas pos begitu cepat dalam bekerja. Terimakasih juga sudah membalas walaupun dengan sedikit nada malas tanpa belas, namun ya... Terimakasih ini lebih dari yang kuharapkan, dimana surat ini tak salah alamat -- sampai tujuan.
0 komentar

Dirimu Laut

dirimu laut.
begitu tenang, begitu gelombang.

ku sebut kau rumah, tempatku berpulang.
cuaca tak ramah, penuh karang.

selalu sama, aku hanya senang bermain pasir saja.
di pantai yang penuh turis lainnya.
aku hanya bermain dipinggir, takut gelombang menyisir.
tanpa penasaran, tanpa pikir : "aku ingin ke laut". mampir.

aku kira aku sudah menemukan laut di pantai.
tidak. belum. kau terlalu santai.
aku rasa inilah laut, inilah dirimu.
bukan. keliru. itu hanya ombak semu.

ku putusakan jadi nelayan saja.
pergi subuh balik petang. bersahaja.
karena untuk mengenal laut kau harus jadi nelayan
karena untuk menangkap ikan kau harus jala, melayan

sesaat jadi nelayan dan melaut.
aku sadar bekalku maut.
sesal tak harga lagi.
dibeli ikan-ikan mati.

terbang tenggelam hati karam
awak melayang sekapal selam
kemudian aku terbangun, aku tersadar.
dalam mati : "untuk inilah ku pasang radar"

aku menemukanmu, beranda kecil berkursi karang.
tempat bangkai-bangkai kapal perang.
ku ketuk pintu muram, ku ucapkan salam.
salam perpisahan -- selamat malam.

ku sebut kau rumah, tempatku berpulang.
cuaca tak ramah, penuh karang.

Tangerang, 2014
0 komentar

Perairan Kita

Dirimu lautan.
Begitu tenang, begitu gelombang.
Diriku payau.
Pertemuan bosan dan menyebalkan.

Tangerang, 2014

 
;